KETERGANTUNGAN OBSERVASI PADA TEORI
Dalam bab ini, penyangkalan lebih serius berupa kritikan terhadap pandangan induktivis akan dikembangkan lebih lanjut. Kritikan ini bukan terutama mengenai induksi yang menganggap pengetahuan ilmiah ditarik dari observasi, melainkan mengenai asumsi-asumsi induktivis tentang status dan peranan observasi itu sendiri.
Ada dua asumsi penting di dalam pandangan induktivis naif tentang observasi. yaitu; ilmu bertolak lewat observasi dan observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat di tarik. Kedua asumsi ini akan dikritik dalam berbagai macam cara dan ditolak dengan berbagai macam alasan. Akan tetapi, pertama-tama akan melukis lebih dulu secara garis besar pandangan tentang obsevasi yang patut dikatakan sebagai pandangan yang sangat umum dan populer pada zaman moderen ini, dan yang memang memberikan kenyamanan bagi posisi induktivis naif.
1. Pandangan Populer Tentang Observasi
Indra-penglihatan merupakan indra yang paling extensif dipergunakan di dalam praktek ilmu terutama mengenai observasi yang berhubungan langsung dengan dunia penglihatan. Contoh; manusia melihat dengan mengunakan matanya. Komponen-komponen terpenting mata manusia adalah lensa dan retina (selaput jala). Lensa berfungsi sebagai layar dimana gambar dari objek-objek dunia di luar mata kita terbentuk. Sorotan sinar dari objek yang kita pandang itu masuk ke lensa mata via media yang memperantarainya. Sorotan sinar ini terbias oleh bahan lensa mata sedemikian rupa sehingga berfokus pada retina. Syaraf-syaraf optik, yang melipu retina sampai ke pusat kontex otak kita, memberikan informasi tentang sinar yang jatuh pada retina kepada otak kita. Rekaman informasi otak manusia inilah yang bersesuaian dengan objek yang dilihat manusia.
Dua hal yang ditekankan dalam gambaran garis besar tentang observasi via indra-penglihatan yang menjadi titik kunci bagi kaum induktivis. Pertama; seorang pengamat sedikit-banyak dapat menangkap langsung beberapa sifat dari dunia luar selama sifat-sifat itu terekam oleh otaknya dengan tindakan melihat. Kedua; dua pengamat yang normal (retina, lensa mata, dan via syaraf-syaraf optik yang normal) memandang objek atau adegan yang sama dari tempat yang sama akan “melihat” hal yang sama. Dua hal tadi akan di bantah langsung selanjut ini
2. Pengalaman Visual Tidak Ditentukan oleh Gambar-Gambar pada Retina
Bukti menunjukkan kenyataan justru bukan demikian, bahwa pengalaman para pengamat ketika memandang satu objek ditentukan semata-mata oleh informasi dalam benuk sorotan sinar yang memasuki mata pengamat, juga tidak ditentukan semata-mata oleh gambar-gambar pada retina si pengamat. Dua pengamat memandang objek yang sama dari tempat yang sama dan dalam keadaan fisik yang sama tidak harus memiliki pengalaman visual yang sama, walau pun gambar-gambar yang diterima tetina masing-masing pada hakikatnya sama. Ada suatu segi penting di dalamnya di mana kedua pengamat tidak harus “melihat” hal yang sama. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh N. R. Hanson; “melihat itu melebihi dari sekedar apa yang dijumpai oleh biji-mata”.
Contoh. Sederhana akan mengilustrasikan hal ini.
Bila, pertama kali memandang gambar ini akan melihat tangga itu dari permukaan bagian atas. Tapi ini bukan satu-satunya cara tangga itu dapat dilihat. Tangga itu bisa juga dilihat dari segi bawah. Jika seseorang memandang lukisan itu beberapa saat, umumnya ia mendapat di luar kehendaknya, bahwa apa yang ia lihat itu sering berubah-ubah, dari tangga yang terlihat dari atas berubah menjadi tangga yang terlihat dari bawah. Masuk akal jika mengatakan apa yang dilihat tetap merupakan objek yang sama, maka gambar pada retinanya pun tetap tidak berubah. Apakah lukisan itu terlihat sebagai tangga dipandang dari atas atau dipandang dari bawah? Nampaknya tergantung pada sesuatu faktor lain dari pada gambar yang diterima tetina pengamat. Tidak seorang pun mengatakan gambar itu bukan tangga. Akan tetapi hasil-hasil experimen terhadap suku-bangsa Afrika yang budayanya belum mengenal lukisan objek tiga dimensi menunjukan bahwa anggota suku-suku tersebut itu tidak akan melihat gambar sebagai tangga, melainkan sebagai suatu jajaran garis. Jadi, sifat gambar-gambar yang terbentuk pada retina secara relatif tergantung pada kebudayaan si pengamat dan pengalaman persepsual yang dimiliki para pengamat dalam tindak melihatnya tidak secara khusus ditentukan oleh gambar-gambar pada retinanya.
Apa hubungan contoh-contoh ini dengan ilmu? Dalam praktek ilmu mengilustrasikan hal yang sama yaitu, apa yang terlihat oleh para pengamat, yakni pengalaman-pengalaman subjektif yang mereka alami, tidak ditentukan semata-semata oleh gambar-gambar yang diterima retina mereka, melaikan tergantung juga pada pengalaman, pengetahuan, harapan-harapan dan keadaan umum batinnya.
Setelah mengemuka hal di atas, disini mencoba menjelaska apa yang tidak termasuk klaim dalam bahasan ini.
Pertama; sudah pasti bahwa tidak mengklaim bahwa sebab-sebab fisik dari gambar-gambar pada retina tidak ada hubungan apa-apa dengan apa yang kita lihat. Kita dapat melihat hanya apa yang kita sukai. Akan tetapi gambar-gambar pada retina menyebabkan kita melihat. Sebab lain yang penting dibentuk oleh keadaan dalam (Inner State) fikiran atau otak kita, kebudayaan, pengetahuan, dan harapan. Dan tidak ditentukan oleh sifat-sifat fisik mata kita dan objek yang kita amati. Kedua; variasi keadaan yang luas, apa yang kita lihat dalam berbagai macam situasi tetap cukup stabil. Ketergantungan apa yang kita lihat pada keadaan fikiran atau otak kita. Ketiga; dalam contoh menunjukkan bahwa pengamat “melihat” hal yang sama namun ini tidak bearti bahwa mereka semua memiliki pengalaman persepsual yang sama.
3. Keterangan Observasi Membutuhkan Teori
Ada beberapa pengalaman unik pada semua pengamat dalam persepsi, tetap saja akan terdapat beberapa keberatan pokok mengenai asumsi induktivis tentang obsevasi. Keterangan-keterangan observasi berdasarkan dan dibenarkan oleh pengalaman persepsual para pengamat. Menurut pandangan induktivis tentang ilmu, dasar kukuh di atas mana hukum-hukum dan teori-teori membangun ilmu, sebenarnya lebih merupakan keterangan-observasi publik daripada pengalaman subjektif pengamat induvidual. Observasi yang pernah dilakukan oleh Darwin selama dalam pelayaran di atas kapal, misalnya akan menjadi tidak layak untuk ilmu, tetap merupakan pengalaman pribadi saja. Menjadi relevan untuk ilmu apabila diformulasikan dan dikomunikasikan sebagai keterangan-observasi yang dapat dimanfaatkan dan dikritik oleh para ilmuwan lainnya. Pandangan induktivis itu membutuhkan penarikan keterangan universal dari keterangan tunggal lewat induksi.
Kita boleh berasumsi bahwa bermacam-macam pengalaman persepsual dapat secara langsung diperoleh seorang pengamat, tetapi keterangan observasi sudah tentu tidak demikian. Keterangan observasi yang membentuk dasar kukuh bagi ilmu, maka dapat dilihat bahwa berlawanan dengan klaim induktivis. Suatu teori mesti mendahului semua keterangan observasi, keterangan observasi itu mungkin sama salahnya dengan teori dalam pra-anggapan yang mendahuluinya.
Keterangan observasi harus dibuat dalam bahasa suatu teori; bagaimana pun samarnya. Perhatikan contoh sederhana dalam bahasa umum ini;
“ awas, angin meniup kereta bayi itu ke pinggir tebing!”
“ kompor gas ini tidak mau nyala”
Dalam kalimat pertama terdapat pra-anggapan bahwa ada suatu hal disebut angin, yang memiliki sifat dapat menyebabkan geraknya, objek-ojek, seperti kereta bayi yang sedang berada ditengah jalan yang dilaluinya. Bilamana kita menjumpai keterangan semacam ini dalam dunia ilmu, asumsi teoristis demikian itu lantas menjadi kurang biasa dan sekaligus menjadi lebih jelas, bahwa di perlukan teori-teori secukupnya untuk keterangan. Teori-teori yang diformulasi secara cermat dan jelas merupakan prasyarat untuk keterangan observasi yang tepat. Dalam segi inilah teori-teori mendahului observasi.
Klaim di atas menunjukkan prioritas teori mendahului observasi, bertentangan dengan tesis induktivis yang menyatakan bahwa makna dari banyak konsep dasar diperoleh melalui observasi. Perhatikan konsep sederhana ini tentang wana “merah” uraian induktivis mengenai hal ini kira-kira akan seperti berikut; dari semua pengalaman perspsual seorang pengamat yang diperoleh melalui indra penglihaan, satu perangkat pengalaman tertentu (yang sesuai dengan pengalaman persepsual dalam penglihatan objek-objek merah) mempunyai kesamaan yang umum.dan ia menjadi mengerti unsur umum itu adalah merah. Demikian konsep “merah” menurut induktivis diperoleh melalui observasi. Pandangan ini mengandung kelamahan yang serius. Apakan kriterianya untuk menentukan beberapa pengalaman persepsual dapat digolongkan ke dalam perangkat itu dan lainya tidak?. Pandangan demikian berpra-anggapan bahwa konsep “merah” itulah yang dimaksud sebagai keterangan. Jadi, kalau orang tua ingin mengajar anak-anaknya tentang konsep merah, maka orang tua sebelumnya memilih dulu seperangkat objek-objek merah dari pengalaman mereka. Ini bukanlah pembelaan yang baik bagi posisi induktivis, karena kita sebenarnya lebih tertarik tentang bagaimana konsep itu pertama kali mulai pemperoleh maknanya. Klaim bahwa kosep “merah”, atau konsep apa pun, berasal dari pengalaman adalah tidak benar.
Teori harus mendahului keterangan observasi dan oleh karena itu klaim induktivis bahwa ilmu bertolak dari observasi adalah salah. Keterang observasi bisa sama salahnya seperti teori-teori yang mendahuluinya, karena itu tidak dapat memberikan dasar yang sepenuhnya terjamin kukuh untuk membangun hukum-hukum dan teori-teori ilmiah di atasnya.
Contoh sederhana di bawah ini yang agar tajam, kemudian akan tunjukkan relevansinya untuk ilmu.
“Ada sebatang kapur tulis di sini” yang di ucapkan seorang guru sambil menunjukkan sebuah benda seperti silinder putih. Keterangan observasi sederhana ini pun telah melibatkan satu teori. Batangan-batangan putih yang terdapat di dalam kelas adalah kapur tulis, lahir dari satu asumsi. Dan sudah tentu generalisasi ini tidak mesti benar boleh jadi bukan kapur, melainkan barang tiruan oleh murid-muridnya bermaksud memain-mainkan guru. Hal ini dapat mengambil langkah menguji kebenaran keterangannya. Makin meyakinkan hasil pengujiannya makin banyak teori yang diperlukan, dan selanjutnya, kepastian absolut tidak pernah di capai. Misalnya guru menarik garis pada papan tulis dan menunjuk garis putih. Ini melibatkan suatu asumsi “kapur tulis meninggalkan garis putih bila ditarik pada papan tulis”. Hal ini juga bisa sangkal bahwa selain kapur benda lain juga dapat meninggal garis pada papan tulis. Hingga tahap terakhir guru upaya keras agar tidak disangkal lagi dengan melakukan uji kimiawi. Secara kimiawi begitu dapat menjelaskan usur-unsur kapur yang dapat membedakan dengan benda lain. Ini adalah sebatang kapur tulis, ternyata melibatkan kebutuhan tidak hanya pada keterangan-keterangan observasi lebih lanjut, tetapi juga pada generalisasi-generalisasi yang lebih teroretis. Demikian jelaslah bahwa memantapkan validitas suatu keterangan observasi, memerlukan teori, dan makin mantap validitasnya, makin extensif pula pengetahuan teori yang digunakan. Hal ini berlawanan dengan pandangan induktivis bahwa untuk mengukuh kebenaran keterangan observasi kita perlu keterangan observasi yang lebih terjamin, dan mungkin hukum-hukum bisa ditarik secara induktif dari situ, tetapi bukan dari teori.
Dalam urian di atas, pandangan induktivis salah dalam dua hal;
- Ilmu tidak bertolak lewat keteranga-keerangan observasi, karena ada teori mendahului segala keterangan observasi.
- Keterangan-observasi tidak memberikan dasar yang kukuh untuk membangun pengetahuan ilmiah, makanya ia bisa salah. Akan tetapi tidak bearti bahwa keterangan observasi tidak berperanan dalam ilmu.
4. Experimen dibimbing oleh Teori
Menurut induktivis yang paling naif, dasar pengetahuan ilmiah dibangun lewat observasi-observasi yang dikatakan tanpa prasangka dan tidak memihak. Apabila diinterpretasikan secara harfiah, posisi ini aneh dan tidak dapat dipertahankan.
Contoh Pertama; Mari kita membayangkan suatu experimen listrik yang lakukan oleh Heinrich Hertz. Mungking ia pertama kali dapat membuat dan mendetect gelombang-gelombang radio. Apabila ia sepenuhnya tidak memihak ketika ia melakukan observasi, maka ia wajib mencatat tidak hanya jarum berbagai macam perkakas meteran, ada atau tidak adanya letik api di berbagai lokasi yang kritis di dalam sirkuit-sirkuit listrik, dimensi-dimensi sirkuit, dsb.tetapi juga warna dari perkas meteran, dimensi laboratoriumnya, keadaan cuaca, ukuran sepatunya dan sejumlah besar perincian-perincian “yang jelas sekali irrelevan”. Aritinya; irrelevan dengan teori yang menjadi perhatian Hertz yang membuatnya melakukan experimen itu. Hertz melakukan percobaan teori elektromagnetik Max Well untuk mengetahui apakah ia dapat menghasikan gelombang radio sebagaimana diramalkan oleh teori itu.
Contoh Kedua; “Bersifat hipotesis. Saya bersamangat untuk memberikan sumbangan kepada psikologi atau anatomi amanusia. Hal ini, membuat ia melakukan penelitian terhadap Berat Daun Telinga. Apabila atas dasar ini, ia melakukan observasi yang sangat cermat terhadap beratnya Daun Telinga manusia dengan variasi yang sangat luas dan banyak itu. Hal ini jelas, bahwa ia tidak akan dapat dengan cara demikian memberikan suatu sumbangan yang berarti kepada ilmu, malah membuang-buang waktu dan tenaga dengan sia-sia. Kecuali sebelumnya sudah ada teori yang menyatakan tentang pentingnya berat Daun Telinga atau ada teori yang menghubungkan ukuran Daun Telinga dengan terjadinya kanker”.
Contoh-contoh di atas mengambarkan satu segi penting di dalam ilmu, teori mendahului obsevasi. Observasi dan perobaan diadakan dengan maksud untuk menguji atau mengungkap susuatu teori, dan hanya dengan observasi yang relevan dengan tugas penelitian itu harus direkam. Bimbingan yang diberikan oleh teori agar observasi menjadi releva dengan fenomena yang ada. Teori-teori yang tidak lengkap dan mungkin bisa salah yang membangun pengetahuan ilmiah dapat memberikan bimbingan salah pula kepada pengamat. Tetapi problem ini hendaknya ditangani dengan mengembangkan teori-teori lebih maju.
5. Induktivisme Tidak Disalahkan Secara Konklus
Klaim bahwa ilmu bertolak dari observasi hanya induktivis paling naif. Akan tetapi tidak seorang pun kaum indutikvis modern yang lebih cerdik ingin mempertahankan pandangan harfiah demikian itu dengan mengemukakan bahwa ilmu harus bertolak dari observasi tanpa memihak dan tanpa prasangka, membedakan antara cara teori mula-mula dipikirkan atau ditemukan di satu pihak, dan cara teori itu dibenarkan atau diakui faedahnya di pihak lain. Teori-teori itu boleh jadi timbul dalam sekilas inspirasi, secara kebetulan atau dengan suatu penemuan baru mungkin dicapai setelah rangkaian panjang observasi dan perhitungan. Teori-teori boleh jadi, dan memang begitu, digabung lebih dulu sebelum mengadakan observasi yang diperlukan untuk mengujinya.
Akan tetapi, sekali hukum dan teori-baru diperoleh, tidak peduli melalui jalan apa, masih tetap akan ada masalah kelayakan dari hukum dan teori itu. Sejumlah besar kenyataan yang relevan dengan suatu teori harus ditentukan dengan observasi pada variasi keadaan yang luas, dan harus dibuktikan seberapa jauh teori itu bisa dikatakan benar baru boleh jadi benar dari segi fakta-fakta yang ditarik lewat semacam kesimpulan induktif.
Pemisahan cara penemuan dan cara pembenaran, memungkinkan kaum induktivis menghindari kritik yang diarahkan pada klaim mereka bahwa ilmu bertolak lewat observasi. Akan tetapi, legitimasi pemisahan dua teori itu harus dipertanyakan. Misalnya, tentu cukup beralasan mengatakan bahwa sautu teori yang mendahului dan membawa ke suatu penemuan fenomena baru. Misalnya, bagaimana cara teori Clark; “membawanya kepenemuan gelombang radio, adalah lebih berharga sumbangannya dan lebih dapat dibenarkan, daripada hukum atau teori untuk menerangkan fenomena yang sudah dikenal dan tidak membuat ke penemuan fenomena baru”.
Induktivis memisahkan cara penemuan dari cara pembenaran, posis mereka tetap terancam dengan ketentuan bahwa kerangan-observasi itu bermuatan teori. Kaum induktivis membuat pembelaan antaran observasi langsung, yang mereka harapkan akan membentuk landasan yang kukuh untuk pengetahuan ilmiah, dan teori-teori yang akan membenarkan dengan sejumlah dukungan induktif yang diterima dari dasar observasi yang terjamin. Sedangkan kaum induktivis extrem mengemukakan bahwa teori hanya mempunyai arti, selama ia dapat diverifikasi dengan observasi langsung. Sikap demikian itu tersangkal oleh kenyataan bahwa pembedaan tajam antara observasi dan teori tidak dapat di pertahankan. Karena observasi atau lebih tepat keterangan yang dihasilkan dari observasi, telah lebih dulu kemasukan teori.
Dalam bab ini, penyangkalan lebih serius berupa kritikan terhadap pandangan induktivis akan dikembangkan lebih lanjut. Kritikan ini bukan terutama mengenai induksi yang menganggap pengetahuan ilmiah ditarik dari observasi, melainkan mengenai asumsi-asumsi induktivis tentang status dan peranan observasi itu sendiri.
Ada dua asumsi penting di dalam pandangan induktivis naif tentang observasi. yaitu; ilmu bertolak lewat observasi dan observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat di tarik. Kedua asumsi ini akan dikritik dalam berbagai macam cara dan ditolak dengan berbagai macam alasan. Akan tetapi, pertama-tama akan melukis lebih dulu secara garis besar pandangan tentang obsevasi yang patut dikatakan sebagai pandangan yang sangat umum dan populer pada zaman moderen ini, dan yang memang memberikan kenyamanan bagi posisi induktivis naif.
1. Pandangan Populer Tentang Observasi
Indra-penglihatan merupakan indra yang paling extensif dipergunakan di dalam praktek ilmu terutama mengenai observasi yang berhubungan langsung dengan dunia penglihatan. Contoh; manusia melihat dengan mengunakan matanya. Komponen-komponen terpenting mata manusia adalah lensa dan retina (selaput jala). Lensa berfungsi sebagai layar dimana gambar dari objek-objek dunia di luar mata kita terbentuk. Sorotan sinar dari objek yang kita pandang itu masuk ke lensa mata via media yang memperantarainya. Sorotan sinar ini terbias oleh bahan lensa mata sedemikian rupa sehingga berfokus pada retina. Syaraf-syaraf optik, yang melipu retina sampai ke pusat kontex otak kita, memberikan informasi tentang sinar yang jatuh pada retina kepada otak kita. Rekaman informasi otak manusia inilah yang bersesuaian dengan objek yang dilihat manusia.
Dua hal yang ditekankan dalam gambaran garis besar tentang observasi via indra-penglihatan yang menjadi titik kunci bagi kaum induktivis. Pertama; seorang pengamat sedikit-banyak dapat menangkap langsung beberapa sifat dari dunia luar selama sifat-sifat itu terekam oleh otaknya dengan tindakan melihat. Kedua; dua pengamat yang normal (retina, lensa mata, dan via syaraf-syaraf optik yang normal) memandang objek atau adegan yang sama dari tempat yang sama akan “melihat” hal yang sama. Dua hal tadi akan di bantah langsung selanjut ini
2. Pengalaman Visual Tidak Ditentukan oleh Gambar-Gambar pada Retina
Bukti menunjukkan kenyataan justru bukan demikian, bahwa pengalaman para pengamat ketika memandang satu objek ditentukan semata-mata oleh informasi dalam benuk sorotan sinar yang memasuki mata pengamat, juga tidak ditentukan semata-mata oleh gambar-gambar pada retina si pengamat. Dua pengamat memandang objek yang sama dari tempat yang sama dan dalam keadaan fisik yang sama tidak harus memiliki pengalaman visual yang sama, walau pun gambar-gambar yang diterima tetina masing-masing pada hakikatnya sama. Ada suatu segi penting di dalamnya di mana kedua pengamat tidak harus “melihat” hal yang sama. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh N. R. Hanson; “melihat itu melebihi dari sekedar apa yang dijumpai oleh biji-mata”.
Contoh. Sederhana akan mengilustrasikan hal ini.
Bila, pertama kali memandang gambar ini akan melihat tangga itu dari permukaan bagian atas. Tapi ini bukan satu-satunya cara tangga itu dapat dilihat. Tangga itu bisa juga dilihat dari segi bawah. Jika seseorang memandang lukisan itu beberapa saat, umumnya ia mendapat di luar kehendaknya, bahwa apa yang ia lihat itu sering berubah-ubah, dari tangga yang terlihat dari atas berubah menjadi tangga yang terlihat dari bawah. Masuk akal jika mengatakan apa yang dilihat tetap merupakan objek yang sama, maka gambar pada retinanya pun tetap tidak berubah. Apakah lukisan itu terlihat sebagai tangga dipandang dari atas atau dipandang dari bawah? Nampaknya tergantung pada sesuatu faktor lain dari pada gambar yang diterima tetina pengamat. Tidak seorang pun mengatakan gambar itu bukan tangga. Akan tetapi hasil-hasil experimen terhadap suku-bangsa Afrika yang budayanya belum mengenal lukisan objek tiga dimensi menunjukan bahwa anggota suku-suku tersebut itu tidak akan melihat gambar sebagai tangga, melainkan sebagai suatu jajaran garis. Jadi, sifat gambar-gambar yang terbentuk pada retina secara relatif tergantung pada kebudayaan si pengamat dan pengalaman persepsual yang dimiliki para pengamat dalam tindak melihatnya tidak secara khusus ditentukan oleh gambar-gambar pada retinanya.
Apa hubungan contoh-contoh ini dengan ilmu? Dalam praktek ilmu mengilustrasikan hal yang sama yaitu, apa yang terlihat oleh para pengamat, yakni pengalaman-pengalaman subjektif yang mereka alami, tidak ditentukan semata-semata oleh gambar-gambar yang diterima retina mereka, melaikan tergantung juga pada pengalaman, pengetahuan, harapan-harapan dan keadaan umum batinnya.
Setelah mengemuka hal di atas, disini mencoba menjelaska apa yang tidak termasuk klaim dalam bahasan ini.
Pertama; sudah pasti bahwa tidak mengklaim bahwa sebab-sebab fisik dari gambar-gambar pada retina tidak ada hubungan apa-apa dengan apa yang kita lihat. Kita dapat melihat hanya apa yang kita sukai. Akan tetapi gambar-gambar pada retina menyebabkan kita melihat. Sebab lain yang penting dibentuk oleh keadaan dalam (Inner State) fikiran atau otak kita, kebudayaan, pengetahuan, dan harapan. Dan tidak ditentukan oleh sifat-sifat fisik mata kita dan objek yang kita amati. Kedua; variasi keadaan yang luas, apa yang kita lihat dalam berbagai macam situasi tetap cukup stabil. Ketergantungan apa yang kita lihat pada keadaan fikiran atau otak kita. Ketiga; dalam contoh menunjukkan bahwa pengamat “melihat” hal yang sama namun ini tidak bearti bahwa mereka semua memiliki pengalaman persepsual yang sama.
3. Keterangan Observasi Membutuhkan Teori
Ada beberapa pengalaman unik pada semua pengamat dalam persepsi, tetap saja akan terdapat beberapa keberatan pokok mengenai asumsi induktivis tentang obsevasi. Keterangan-keterangan observasi berdasarkan dan dibenarkan oleh pengalaman persepsual para pengamat. Menurut pandangan induktivis tentang ilmu, dasar kukuh di atas mana hukum-hukum dan teori-teori membangun ilmu, sebenarnya lebih merupakan keterangan-observasi publik daripada pengalaman subjektif pengamat induvidual. Observasi yang pernah dilakukan oleh Darwin selama dalam pelayaran di atas kapal, misalnya akan menjadi tidak layak untuk ilmu, tetap merupakan pengalaman pribadi saja. Menjadi relevan untuk ilmu apabila diformulasikan dan dikomunikasikan sebagai keterangan-observasi yang dapat dimanfaatkan dan dikritik oleh para ilmuwan lainnya. Pandangan induktivis itu membutuhkan penarikan keterangan universal dari keterangan tunggal lewat induksi.
Kita boleh berasumsi bahwa bermacam-macam pengalaman persepsual dapat secara langsung diperoleh seorang pengamat, tetapi keterangan observasi sudah tentu tidak demikian. Keterangan observasi yang membentuk dasar kukuh bagi ilmu, maka dapat dilihat bahwa berlawanan dengan klaim induktivis. Suatu teori mesti mendahului semua keterangan observasi, keterangan observasi itu mungkin sama salahnya dengan teori dalam pra-anggapan yang mendahuluinya.
Keterangan observasi harus dibuat dalam bahasa suatu teori; bagaimana pun samarnya. Perhatikan contoh sederhana dalam bahasa umum ini;
“ awas, angin meniup kereta bayi itu ke pinggir tebing!”
“ kompor gas ini tidak mau nyala”
Dalam kalimat pertama terdapat pra-anggapan bahwa ada suatu hal disebut angin, yang memiliki sifat dapat menyebabkan geraknya, objek-ojek, seperti kereta bayi yang sedang berada ditengah jalan yang dilaluinya. Bilamana kita menjumpai keterangan semacam ini dalam dunia ilmu, asumsi teoristis demikian itu lantas menjadi kurang biasa dan sekaligus menjadi lebih jelas, bahwa di perlukan teori-teori secukupnya untuk keterangan. Teori-teori yang diformulasi secara cermat dan jelas merupakan prasyarat untuk keterangan observasi yang tepat. Dalam segi inilah teori-teori mendahului observasi.
Klaim di atas menunjukkan prioritas teori mendahului observasi, bertentangan dengan tesis induktivis yang menyatakan bahwa makna dari banyak konsep dasar diperoleh melalui observasi. Perhatikan konsep sederhana ini tentang wana “merah” uraian induktivis mengenai hal ini kira-kira akan seperti berikut; dari semua pengalaman perspsual seorang pengamat yang diperoleh melalui indra penglihaan, satu perangkat pengalaman tertentu (yang sesuai dengan pengalaman persepsual dalam penglihatan objek-objek merah) mempunyai kesamaan yang umum.dan ia menjadi mengerti unsur umum itu adalah merah. Demikian konsep “merah” menurut induktivis diperoleh melalui observasi. Pandangan ini mengandung kelamahan yang serius. Apakan kriterianya untuk menentukan beberapa pengalaman persepsual dapat digolongkan ke dalam perangkat itu dan lainya tidak?. Pandangan demikian berpra-anggapan bahwa konsep “merah” itulah yang dimaksud sebagai keterangan. Jadi, kalau orang tua ingin mengajar anak-anaknya tentang konsep merah, maka orang tua sebelumnya memilih dulu seperangkat objek-objek merah dari pengalaman mereka. Ini bukanlah pembelaan yang baik bagi posisi induktivis, karena kita sebenarnya lebih tertarik tentang bagaimana konsep itu pertama kali mulai pemperoleh maknanya. Klaim bahwa kosep “merah”, atau konsep apa pun, berasal dari pengalaman adalah tidak benar.
Teori harus mendahului keterangan observasi dan oleh karena itu klaim induktivis bahwa ilmu bertolak dari observasi adalah salah. Keterang observasi bisa sama salahnya seperti teori-teori yang mendahuluinya, karena itu tidak dapat memberikan dasar yang sepenuhnya terjamin kukuh untuk membangun hukum-hukum dan teori-teori ilmiah di atasnya.
Contoh sederhana di bawah ini yang agar tajam, kemudian akan tunjukkan relevansinya untuk ilmu.
“Ada sebatang kapur tulis di sini” yang di ucapkan seorang guru sambil menunjukkan sebuah benda seperti silinder putih. Keterangan observasi sederhana ini pun telah melibatkan satu teori. Batangan-batangan putih yang terdapat di dalam kelas adalah kapur tulis, lahir dari satu asumsi. Dan sudah tentu generalisasi ini tidak mesti benar boleh jadi bukan kapur, melainkan barang tiruan oleh murid-muridnya bermaksud memain-mainkan guru. Hal ini dapat mengambil langkah menguji kebenaran keterangannya. Makin meyakinkan hasil pengujiannya makin banyak teori yang diperlukan, dan selanjutnya, kepastian absolut tidak pernah di capai. Misalnya guru menarik garis pada papan tulis dan menunjuk garis putih. Ini melibatkan suatu asumsi “kapur tulis meninggalkan garis putih bila ditarik pada papan tulis”. Hal ini juga bisa sangkal bahwa selain kapur benda lain juga dapat meninggal garis pada papan tulis. Hingga tahap terakhir guru upaya keras agar tidak disangkal lagi dengan melakukan uji kimiawi. Secara kimiawi begitu dapat menjelaskan usur-unsur kapur yang dapat membedakan dengan benda lain. Ini adalah sebatang kapur tulis, ternyata melibatkan kebutuhan tidak hanya pada keterangan-keterangan observasi lebih lanjut, tetapi juga pada generalisasi-generalisasi yang lebih teroretis. Demikian jelaslah bahwa memantapkan validitas suatu keterangan observasi, memerlukan teori, dan makin mantap validitasnya, makin extensif pula pengetahuan teori yang digunakan. Hal ini berlawanan dengan pandangan induktivis bahwa untuk mengukuh kebenaran keterangan observasi kita perlu keterangan observasi yang lebih terjamin, dan mungkin hukum-hukum bisa ditarik secara induktif dari situ, tetapi bukan dari teori.
Dalam urian di atas, pandangan induktivis salah dalam dua hal;
- Ilmu tidak bertolak lewat keteranga-keerangan observasi, karena ada teori mendahului segala keterangan observasi.
- Keterangan-observasi tidak memberikan dasar yang kukuh untuk membangun pengetahuan ilmiah, makanya ia bisa salah. Akan tetapi tidak bearti bahwa keterangan observasi tidak berperanan dalam ilmu.
4. Experimen dibimbing oleh Teori
Menurut induktivis yang paling naif, dasar pengetahuan ilmiah dibangun lewat observasi-observasi yang dikatakan tanpa prasangka dan tidak memihak. Apabila diinterpretasikan secara harfiah, posisi ini aneh dan tidak dapat dipertahankan.
Contoh Pertama; Mari kita membayangkan suatu experimen listrik yang lakukan oleh Heinrich Hertz. Mungking ia pertama kali dapat membuat dan mendetect gelombang-gelombang radio. Apabila ia sepenuhnya tidak memihak ketika ia melakukan observasi, maka ia wajib mencatat tidak hanya jarum berbagai macam perkakas meteran, ada atau tidak adanya letik api di berbagai lokasi yang kritis di dalam sirkuit-sirkuit listrik, dimensi-dimensi sirkuit, dsb.tetapi juga warna dari perkas meteran, dimensi laboratoriumnya, keadaan cuaca, ukuran sepatunya dan sejumlah besar perincian-perincian “yang jelas sekali irrelevan”. Aritinya; irrelevan dengan teori yang menjadi perhatian Hertz yang membuatnya melakukan experimen itu. Hertz melakukan percobaan teori elektromagnetik Max Well untuk mengetahui apakah ia dapat menghasikan gelombang radio sebagaimana diramalkan oleh teori itu.
Contoh Kedua; “Bersifat hipotesis. Saya bersamangat untuk memberikan sumbangan kepada psikologi atau anatomi amanusia. Hal ini, membuat ia melakukan penelitian terhadap Berat Daun Telinga. Apabila atas dasar ini, ia melakukan observasi yang sangat cermat terhadap beratnya Daun Telinga manusia dengan variasi yang sangat luas dan banyak itu. Hal ini jelas, bahwa ia tidak akan dapat dengan cara demikian memberikan suatu sumbangan yang berarti kepada ilmu, malah membuang-buang waktu dan tenaga dengan sia-sia. Kecuali sebelumnya sudah ada teori yang menyatakan tentang pentingnya berat Daun Telinga atau ada teori yang menghubungkan ukuran Daun Telinga dengan terjadinya kanker”.
Contoh-contoh di atas mengambarkan satu segi penting di dalam ilmu, teori mendahului obsevasi. Observasi dan perobaan diadakan dengan maksud untuk menguji atau mengungkap susuatu teori, dan hanya dengan observasi yang relevan dengan tugas penelitian itu harus direkam. Bimbingan yang diberikan oleh teori agar observasi menjadi releva dengan fenomena yang ada. Teori-teori yang tidak lengkap dan mungkin bisa salah yang membangun pengetahuan ilmiah dapat memberikan bimbingan salah pula kepada pengamat. Tetapi problem ini hendaknya ditangani dengan mengembangkan teori-teori lebih maju.
5. Induktivisme Tidak Disalahkan Secara Konklus
Klaim bahwa ilmu bertolak dari observasi hanya induktivis paling naif. Akan tetapi tidak seorang pun kaum indutikvis modern yang lebih cerdik ingin mempertahankan pandangan harfiah demikian itu dengan mengemukakan bahwa ilmu harus bertolak dari observasi tanpa memihak dan tanpa prasangka, membedakan antara cara teori mula-mula dipikirkan atau ditemukan di satu pihak, dan cara teori itu dibenarkan atau diakui faedahnya di pihak lain. Teori-teori itu boleh jadi timbul dalam sekilas inspirasi, secara kebetulan atau dengan suatu penemuan baru mungkin dicapai setelah rangkaian panjang observasi dan perhitungan. Teori-teori boleh jadi, dan memang begitu, digabung lebih dulu sebelum mengadakan observasi yang diperlukan untuk mengujinya.
Akan tetapi, sekali hukum dan teori-baru diperoleh, tidak peduli melalui jalan apa, masih tetap akan ada masalah kelayakan dari hukum dan teori itu. Sejumlah besar kenyataan yang relevan dengan suatu teori harus ditentukan dengan observasi pada variasi keadaan yang luas, dan harus dibuktikan seberapa jauh teori itu bisa dikatakan benar baru boleh jadi benar dari segi fakta-fakta yang ditarik lewat semacam kesimpulan induktif.
Pemisahan cara penemuan dan cara pembenaran, memungkinkan kaum induktivis menghindari kritik yang diarahkan pada klaim mereka bahwa ilmu bertolak lewat observasi. Akan tetapi, legitimasi pemisahan dua teori itu harus dipertanyakan. Misalnya, tentu cukup beralasan mengatakan bahwa sautu teori yang mendahului dan membawa ke suatu penemuan fenomena baru. Misalnya, bagaimana cara teori Clark; “membawanya kepenemuan gelombang radio, adalah lebih berharga sumbangannya dan lebih dapat dibenarkan, daripada hukum atau teori untuk menerangkan fenomena yang sudah dikenal dan tidak membuat ke penemuan fenomena baru”.
Induktivis memisahkan cara penemuan dari cara pembenaran, posis mereka tetap terancam dengan ketentuan bahwa kerangan-observasi itu bermuatan teori. Kaum induktivis membuat pembelaan antaran observasi langsung, yang mereka harapkan akan membentuk landasan yang kukuh untuk pengetahuan ilmiah, dan teori-teori yang akan membenarkan dengan sejumlah dukungan induktif yang diterima dari dasar observasi yang terjamin. Sedangkan kaum induktivis extrem mengemukakan bahwa teori hanya mempunyai arti, selama ia dapat diverifikasi dengan observasi langsung. Sikap demikian itu tersangkal oleh kenyataan bahwa pembedaan tajam antara observasi dan teori tidak dapat di pertahankan. Karena observasi atau lebih tepat keterangan yang dihasilkan dari observasi, telah lebih dulu kemasukan teori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar